Tugas Cerita Rakyat (Stefanus Chiody)
Asal Usul Kota Banyuwangi
Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur
Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang
Raja yang adil dan bijaksana. Raja
tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran
Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan.
Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah
peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya
berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat
seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk
jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana
seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya.
“Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak
belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia
tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai
ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya.
Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan,
tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.
“Ha?
Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan
penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang
memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu
hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum.
Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya.
“Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini
karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam
mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden
Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung
itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama
kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Pada
suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana.
“Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping.
Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya
adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk
mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh
ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena
telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak
kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat
memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini
harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan
Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang,
dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang
berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan
seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang.
Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,”
kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala
yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang
dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata
itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah
Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke
istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan
istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian
compang-camping yang telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat
kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong
kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. “
Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda
sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada
seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya,
bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah,
sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan
istrinya.
Raden
Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di
sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki
compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang
pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang
dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang
memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar
Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa
istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan
Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan
kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung
Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.
“Kakak
Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda
tolak!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden
Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air
sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah!
Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati.
Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden
Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu
pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak
berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai.
Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku
tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang.
Ia meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah
terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam
bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama
Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.
·
HAL YANG ANEH DALAM CERITA :
Hati Raden Banterang tidak cair bahkan
menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda! Jika air sungai ini menjadi bening
dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan
bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden
Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera
menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati
melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum
merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan
suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa
menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan menyesali
kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya
·
AMANAT CERITA :
Jangan pernah
sekali-sekali memfitnah seseorang.
·
CERITA YANG SERUPA :
Asal Usul Kota Woleri.
(Jalan ceritanya serupa dengan Banyuwangi)
(Jalan ceritanya serupa dengan Banyuwangi)
Adalah Tumenggung Prawiro
Setya atau Pangeran Sambong salah satu petinggi Mataram yang mengikuti
pertemuan di paseban Kemangi dalam rangka persiapan menyerang VOC di Batavia.
Ada tuturan lagi bahwa Pangeran Sambong adalah seorang keturunan China yang
nama aslinya Sam Hong. Nama orang penting dari Mataram itu pada
catatan cerita tutur erat sekali hubungannya dengan asal-usul terjadinya Kota
Weleri (Nyai Damariyah), terlebih Desa Sambongsari.
Tentang nama Sam Hong
pada diri Pangeran Sambong bisa dijadikan sebagai petunjuk bahwa tokoh sejarah
masa lalu sudah terdiri dari berbagai suku dan bangsa. Dan seandainya benar
Sambong itu berasal dari Sam Hong, juga bukan sebagai sesuatu kejadian yang
aneh. Nama Sam Hong in erat sekali dengan adanya sebuah makam, yang konon
katanya makam itu punya nama Nyah Ka Han. Petilasan Nyah Ka Han itu
ada di sebelah balai desa Sambongsari. Petilasan itu hanya diberi tanda dua
buah bakiak atau sandal yang terbuat dari kayu lunak.
Sebai pemimpin-pemimpin
lainnya, Tumenggung Prawiro Setya atau Pangeran Sambong tidak diperkenankan
kembali ke Mataram. Ia kembali dari Batavia satu rombongan dengan Raden
Muthohar dan Raden Haryo Sungkono. Perpisahan ketoga tokoh Mataram terjadi
setelah Raden Muthohar dan Raden Haryo Sungkono berketatapan tinggal di daerah
yang dinamakan Sembung Tambar. Tumenggung Prawiro Setya kembali
bertapa kemudian melanjutkan perjalanan ke arah barat dan menjadi warga
masyarakat biasa. Artinya, gelar kebesarannya sebagai tumenggung dilepasnya
dengan sukarela. Tetapi masyarakat sudah mengetahui bahwa ia adalah seorang
petinggi Mataram yang ikut berperang melawan Belanda di Batavia.
Disebutkan dalam cerita
tutur bahwa kehidupan di sebelah barat desa Sembung Tambar, ia bersama-sama
dengan tokoh seperguruannya bernama Bah Brontok, seorang tokoh
keturunan China. Tokoh lainnya ada yang menuturkan bernama Bagus Wuragil juga
dikenal dengan nama Den Bagus Banteng dan Benowo. Nama yang terakhir itu
bukanlah Benowo yang melekat erat dengan Pangeran Benowo putera Jaka Tingkir
(ada yang menyebut Denowo bukan Benowo).
Pangeran Sambong dan Bah
Brontok adalah sama-sama murid Tumenggung Rajekwesi atau Ki Ageng Kemangi.
Namun keduanya bertolak belakang dalam menempatkan tujuan belajar pada Ki Ageng
Kemangi. Pangeran Sambong cenderung pada aliran putih, sedangkan Bah Brontok
lebih pada aliran hitam.
Tempat paseban Pangeran Sambong diceritakan berada di sebuah perbukitan, sebelah desa Sambongsari. Tempatnya di tengah-tengah hutan jati, yang sekarang ini dipercayai sebagai makam Pangeran Sambong. Di samping makam/patilasan Pangeran Sambong ada sebuah makam/patilasan lagi, yang dituturkan milik putera Pangeran Sambong bernama Pangeran Langsih.
Sebagaimana di
daerah-daerah lain, Pangeran Sambong juga melaksanakan tugas penyiaran agama
Islam dengan cara yang disesuaikan dengan keadaan.Begitu mengenal nama Pangeran
Sambong, ingatan kita tentu tertuju pada seorang tokoh dalam lakon sinetron.
Dalam sinetron tersebut, disebut-sebut dengan Raden Samba, yang konon seorang
putera adipati.
Melihat masanya, Raden
Samba memang sejaman dengan tokoh-tokoh pejuang dari Mataram. Apakah nama Raden
Samba yang kemudian hari ada kemirpa dengan Pangeran Sambong? Tentunya memang
tidak gampang untuk cepat menjawab dengan "Ya" . Namun bila
diperhatikan namanya, memang tidak terlalu jauh antara Raden Samba dengan Raden
Sambong. Dengan demikian paling tidak ada kedekatan dengan Paseban Kemangi.
Hidup sejaman dengan Bah
Brontok, ternyayta hubungan antara pangeran Sambong dengan Bah Brontok bagai
minyak dengan air. Meskipun mereka sama murid Ki Ageng Kemangi atau Tumenggung
Rajekwesi, keduanya mempunyai visi keilmuan yang berbeda. Dialog soal kunci kehidupan
antara keduanya tokoh itu memang sering dilakuukan. Namun selalu tidak
menemukan titik yang bagus.
Demikianlah alkisah
menyebutkan, bahwa suatu hari Bah Brontok melakukan adu ayam dengan Pangeran
Sambong. Ayam Petarung Pangeran Sambong berwarna merah penatas, sedangkan milik
Bah Brontok berwarna jali. Tempat beradunya ditentukan yaitu di daerah Cakra
Kembang, dekat Sungai/Kali Kutho. Orang yang suka melihat adu
ayam tidak berani melihat dari jarak dekat, cukup dari kejauhan dan di tempat
yang agak tinggi. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Tegalan
Sedengok.
Setelah usai adu ayam,
keduanya selalu memandikan ayamnya di sungai dekat Cakra Kembang. Oleh
masyarakat, sungai itu dikenal dengan nama sungai/kali jenes (kotor).
Ada yang menarik dalam adu ayam itu. Ketika selesai adu ayam, dan jika ayam Bah
Brontok kalah tarung, maka dilanjutkan dengan perang tanding antarpemiliknya.
Yang sering melakukan pertarungan dalam cerita tutur adalah Bah Brontok dan
Bagus Wuragil, yang konon masih adik Pangeran Sambong.
Ada tuturan lagi, dalam
adu ayam, Bah Brontok sering melakukan kecurangan-kecurangan. Melihat lawannya
senang dengan kecurangan, maka Pangeran Sambong juga melakukan taktik yang
sama. Pada salah satu kaki ayam milik Pangeran Sambong diberinya tutup kaki
yang terbuat dari bambu, sehingga kelihatan bahwa kaki ayam miliknya disambung
dengan bambu (pring-Jawa). Dengan demikian warna kulit kaki ayam itu
menjadi tidak sama. Maka di Dukuh Bojengan, yang letaknya tidak
jauh dari Cakra Kembang itu bila ada ayam yang warna kulit dua kaki yang
berbeda diyakini bahwa ayam itu adalah milik Pangeran Sambong.
Tempat padepokan kedua
tokoh itu memang tidak terlalu jauh. Pangeran Sambong tinggal di daerah yang
bernama Sambong atau hutan Sambongan, sedangkan Bah Brontok tinggal
di Alas Buntu di daerah Krengseng. Tempat yang pernah
dijadikan ajang tadnign kesaktian oleh keduanya itu sekarang dengan nama Randu
Sigunting. Disebut demikian karena pohon Randu itu tumbuh bercabang seperti
gunting.
Sedangkan tempat lain,
dituturkan berada di sekitar makam Penyangkringan sekarang. Pada jaman dulu, di
dekat makam itu ada bekas tapak kuda Pangeran Sambong di sebuah tunggak jati.
Bahkan pertarungan antara Bagus Wuragil dengan Bah Brontok jga pernah terjadi.
Kejar mengejar antara keduanya hingga sampai hutan Seklayu yang
terletak di daerah Lebo Krengseng. Dan di hutan itulah ada dua makam yang
dikatakan oleh masyarakat sebagai makam atau patilasan Bagus Wuragil dan Bah
Brontok.
Bagus Wruagil disebut
dengan Den Bagus Banteng karena dalam pertarungannya dengan Bah Brontok, sepak
terjangnya seperti kekuatan banteng. Dalam pertarungan dua tokoh itu, keduanya
mencapai puncak pertarungan dengan meninggal secara bersama (Mogo bothongo -
sampyuh).
Nama isteri Pangeran Sambong memang tidak jelas sosoknya. Sedangkan Nyai Wungu adalah sosok tokoh wanita yang terlebih dahulu datang di tempat itu. Begitu pula tentng Nyai Damariyah atau Sri Pandan atau Pandansari, tokoh wanita itu lebih muda dari Pangeran Sambong. Pertemuan tiga tokoh tersebut ternyata membawa berkah, karena ketiganya pernah bertemu di suatu tempat sebelum tinggal di daerah barunya itu. Tempat pertemuannya sekarang disebut-sebut dengan Sambung yang diambil dari pertemuan ketiga tokoh itu bisa menyambung persaudaraan kembali.
Nama isteri Pangeran Sambong memang tidak jelas sosoknya. Sedangkan Nyai Wungu adalah sosok tokoh wanita yang terlebih dahulu datang di tempat itu. Begitu pula tentng Nyai Damariyah atau Sri Pandan atau Pandansari, tokoh wanita itu lebih muda dari Pangeran Sambong. Pertemuan tiga tokoh tersebut ternyata membawa berkah, karena ketiganya pernah bertemu di suatu tempat sebelum tinggal di daerah barunya itu. Tempat pertemuannya sekarang disebut-sebut dengan Sambung yang diambil dari pertemuan ketiga tokoh itu bisa menyambung persaudaraan kembali.
Dikisahkan bahwa Nyai
Damariyah atau Sri Pandan adalah sosok wanita yang sangat cantik, dan
diperebutkn oleh Bagus Wuragil dan Denowo (bukan Pangeran Benowo). Dalam cerita
tutur itu diterangkan dengan jelas bahwa hati Nyai Damariyah lebih condong ke
Bagus Wuragl. Karena dirinya menjadi rebutan dua tokoh yang sama-sama pengikut
Pangeran Ssambong, hatinya sangat gelisah. Maka ia memilih hidup dengan Nyai
Wungu.
Oleh Pangeran Sambong
juga Nyai Wungu dinasihatkan, kalau Nyai Damariyah ingin tenang dari perebutan
dua orang yang sama-sama menjadi sahabatnya, lebih baik Nyi Damariyah pergi ke
tempat Ki Sido Mukti, yang letaknya di sebelah timur Sambongan. Ki Ageng Sido
Mukti sangatlah prihatin karena adanya perseteruan dua sahabat Nyai Damariyah
yang memperebutkan Nyai Damariyah. Oleh Ki Ageng Sdo Mukti, Nyai Damariyah
diperintahkan untuk mencucui beras (mesusi-Jawa). Sebagaimana biasanya
tempat mencuci beras itu dilakukan di sungai. Diberitahukan oleh ki Sido Mukti
bahwa ketika Nyai Damariyah mesusi beras, maka telusurilah di
mana letak berhentinya air cucian (pesusan) beras itu. Di tempat
berakhirnya air pesusan itulah Nyai Damariyah bisa hidup
tenang dan tidak akan diganggu oleh siapapun.
Air pesusan beras itu
disebut orang dengan "Leri". Ketika Nya Damariyah menelusuri
di mana berhentinya air leri itu, ternyata berhenti tepat di
bawah dua pohon pandan yag tumbuh berdampingan, dan ada pohon Lo, pada
waktu itu disebut orang dengan nama pohon cangkring. Sehingga
daerah di sekitar pohon Lo itu sekarang in dikenal dengan nama
desa Penyangkringan. Sedangkan nama Nyai Damariyah dipanggil banyak
orang dengan nama Nyai Pandansari atau Sri Pandan. Sedangkan sungai yang
menjadi tempat mesusi/mencuci beras akhirnya dikenal dengan Sungai
Damar atau Kali Damar.
Tentang akhir kehidupan
Nyai Damar, ia memang lebih suka bertapa dan tempat yang dipilihnya adalah di
bawah pohon pandan. Konon Nyai Damar yang sukses bertapa itu menjadi tokoh
sakti pilih tanding. Tempat pertapaannya yang terakhir adalah di bawah pohon
pandan yang terletak di tepi laut (pantai dekat hilir sungai Damar/Laut Jawa).
Dan sudah menjadi catatan khusus masyarakat Weleri bahwa desa itu mempunyai
"danyang" seorang wanita yaitu Nyai Pandansari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar