Social Icons

Pages

Rabu, 27 November 2013

Tugas Bahasa Indonesia Tentang Hikayat

Tugas Hikayat

Anggota Kelompok :
1.         Endra Setiawan
2.         Fahrizhar Satya Pradana
3.         Ilham Agustiawan
4.         Jodhy Aldion Siregar
5.         Mohamad Zain Marta
6.         Muhammad Ansari Q. W.
7.         Randy Akbar
8.         Satria Bagus P. W.
9.         William Jaya Saputra
10.       Yusril Ramli Murod

Hikayat Si Miskin
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.

Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.

Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”

Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.

Setelah genap bulannya kandungan itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama Marakarmah (anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang.

Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya. Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.

Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.

Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.

Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.

Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.

Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar. Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemui oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.

Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan –jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. 

Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.

Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.

Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.

Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti dahulu kala.

Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).

Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam Cahaya.


A.  Arti Hikayat

Hikayat si Miskin


Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya, dibuang dari keinderaan sehingga hidupnya sengsara. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.

Pasangan Suami istri yang miskin dengan pakaiannya yang seperti digigit anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah yang ada di bawah pemerintahan raja Indera Dewa. Kemanapun mereka pergi, mereka selalu diburu dan diusir oleh penduduk dan disertai penganiayaan sehingga tubuhnya bengkak-bengkak dan berdarah-darah. Sepanjang perjalanan si Miskin berdua itu menangis karena  sangat lapar dan haus. Saat malam, Mereka tidur di hutan, dan siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.

Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia ingin memakan mangga yang ada di taman raja. Si Miskin keberatan untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istrinya itu makin menangis menjadi-jadi. Maka  si Miskin berkata, “Diamlah.  jangan menangis. Biar Saya pergi mencari buah mangga itu. Jika dapat, akan ku berikan kepadamu.”

Si Miskin pergi ke pasar, dan pulangnya membawa mangga dan makanan-makanan yang lain, Tetapi ditolak oleh isterinya. dengan hati yang kesal dan penuh ketakutan, Si Miskin pergi menghadap raja untuk meminta mangga. Setelah didapat beberapa mangga, ia segera pulang. Isterinya menyambut dengan bahagia dan dimakan mangga itu.

Setelah sembilan bulan kandungannya, lahirlah anak laki-lakinya yang pertama bernama Marakarmah yang artinya anak di dalam kesukaran, lalu diasuhnya dengan penuh kasih sayang.

Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat gubuk sebagai tempat tinggal, dia menemukan sebuah tempayan yang penuh berisi dengan emas yang tidak akan habis untuk dipakai berbelanja sampai anak cucunya. Dengan takdir Allah, berdiri  sebuah kerajaan yang lengkap perlengkapannya. Si Miskin lalu berganti nama menjadi Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.

Maharaja Indera Angkasa sangat adil dan pemurah sehingga mensejahterakan  kerajaan Puspa Sari dan membuat  Maharaja Indera Dewa iri di negeri Antah Berantah.

Ketika Maharaja Indera Angkasa mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya peramal yang ahli dari Negeri Antah Berantah.

Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah,  para peramal ahli itu mengatakan bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu nanti hanya akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.

Ramalan palsu para peramal ahli itu membuat hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu dari kerajaan.

Tidak lama setelah kepergian putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar. Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Saat mencari api ke kampung, karena disangka pencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemui oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.

Lalu, Nasib Marakarmah di lautan, ia terus hanyut dan akhirnya terdampar di pelabuhan raksasa, tempat ditawannya Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang nanti setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di tepi pantai, dia bertemu Marakarmah dalam keadaan tubuh terikat. Lalu dilepaskan talinya dan diajak pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha kabur dari tempat raksasa dengan mengendarai sebuah perahu. 

Muncul nafsu nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didoronglah Marakarmah ke laut, lalu dia ditelan oleh ikan nun yang mengikuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan, kemudian nenek itu membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tidak terluka.

Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang pekerjaannya menjual bunga. Marakarmah selalu menolak untuk merangkai bunga. Alasannya, rangkaian bunga buatan Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang bisa menjadi penyebab dapat bertemu kembali dia dengan istrinya.

   Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari, dia menemukan seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, Marakarmah tahu bahwa puteri tersebut adalah adiknya sendiri, maka ditemui olehnya. Nahkoda kapal yang jahat itu lalu dibunuh olehnya.

Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah dan ibunya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan kesaktiannya diciptakan kembali Kerajaan Puspa Sari dengan semua  perlrngkapaan kerajaan seperti dahulu.

Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dipimpin oleh Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).

Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya, yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya menjadi Sultan Mangindera Sari untuk menjadi raja di Palinggam Cahaya.

B.  Unsur Intrinsik

1)   Tema : Perjalanan hidup raja
2)   Alur   : Maju
3)   Latar  :
i) -Tempat : Negeri antah berantah, hutan, laut, pasar, negeri pusra sari, kapal
ii)  -Waktu  : Malam dan siang
4)   Tokoh :
Maharaja Indera Dewa           : Iri, jahat
Maharaja Indera Angkasa      : pemurah, penyabar, baik
Marakarmah                           : penyabar, rela menerima, patuh
Putri Ratna Dewi                    : baik, penyayang
Nila Kusuma                           : penyabar, rela menerima, patuh
Cahaya Chairani                     : baik, penolong
Nenek Kabayan                      : baik, penolong

C.  Amanat

-    Patuhilah perintah orang tua
-  Setiap ada kesulitan, pasti akan ada kemudahan
- -Tolonglah orang lain yang membutuhkan pertolongan, maka suatu saat orang tersebut akan menolongmu

D. Kesamaan Dengan Kehidupan Pribadi

Selama ini, saya selalu menuruti perintah orang tua saya, dan juga saya percaya jika perintah orang tua menuntun kita ada jalan yang benar. Saya juga pantang menyerah, walaupun ada kesulitan pasti akan ada jalan untuk melewati kesulitan itu.

Selasa, 26 November 2013

TUGAS BAHASA INDONESIA HIKAYAT

Anggota Kelompok :
Ahmad Raihan
Ahmad Rafli
Alfin Faidz
Arief Maulana
Bayugiri
Ghifari Surya
Lutfi Maulana
Rizky Wiradhika
Rafi Wiratama
M Risyad


Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular

Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat. “Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.” “Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.”
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk. Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi. Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.” “Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.
“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan. Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.” Ular mengabulkan permintaannya.
Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.” Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.” Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?” Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.” Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:

"Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat."

Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.

Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.

Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.

Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.

Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.

Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.

Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.

Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.


Transliterasi ke Bahasa Indonesia:
Pada zaman dahulu, ada seorang kakek yang cukup dihormati. Ia dikenal takut kepada Tuhan, tergila-gila pada kebenaran, selalu beribadah setiap waktu, melaksanakan salat lima waktu dan selalu berusaha membaca Al-Qur'an pada pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal memiliki otot yang kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya mampu menjaga potensi itu.

Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sambil menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan pada masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang selalu berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergesa-gesa. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.

"Kek," panggil ular itu dengan malang, "kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya setelah berhasil menangkap saya. Tentu adalah orang yang  baik jika mau membuka mulutmu lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini."

"Ulangi sumpahmu sekali lagi," pinta si kakek. "Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keburukkan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya."

Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya, kira-kira bisa memasukkan ular itu kedalam mulutnya.

Beberapa saat kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangannya. Ia menanyakan keberadaan ular yang akan dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tidak melihat ular yang ia tanyakan dan tidak tahu di mana ular itu berada. Karena tidak berhasil menemukan apa yang sedang dicarinya, pria itu pun pergi.

Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: "Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang."

Ular itu hanya menampakkan kepalanya sedikit, lalu berkata: "Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tidak tahu apa-apa. Kamu bahkan tidak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati."

"Buktinya kamu  biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat." kata ular itu mengancam.

"La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang maha Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik." Beberapa saat kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.

Kakek itu akhirnya kembali bersuara, "Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku."

Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, "Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku."

Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular:

"Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan."

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:

"Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik merekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tidak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau lihat pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu."

Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu senang bukan main sehingga berkata, "Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?"

Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, "Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu."

Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya."

Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:

"Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat."

Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Dia mengucapkan selamat tinggal kepada istriku. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.

Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.

Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengaduku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seperti menebar ancaman.

Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tidak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia memasukkan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai macam penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.

Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa baik budi dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.

Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.

Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.

Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.




A.    Sinopsis (Ringkasan Hikayat)
Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular
Pada zaman dahulu, ada seorang kakek yang sangat disegani oleh penduduk. Ia sangat taat beragama dan berotot juga pandai otaknya.  Suatu hari, ia tengah duduk-duduk ditempat kerjanya. Namun, tiba-tiba seekor ular menghampirinya dan meminta tolong. Ular itu beralasan bahwa ia sedang dikejar-kejar pemburu, maka dari itu ia ingin bersembunyi di mulut kakek.
Namun setelah ular itu selamat, ternyata ia malah tidak mau keluar dan malah mengancam kakek untuk memakannya. Kakek bingung, namun pasrah akan takdir yang akan menimpanya. Setelah meminta tolong pada Allah, ternyata ia mendengar suara. Berkat kata-kata dari suara itulah ular itu keluar dan kakek pun selamat.

B. UNSUR INTRINSIK
1. Tema                       : Balas Budi
2. Perwatakan tokoh    :
a. Si Kakek     : Baik hati, pandai, taat, terlalu mudah percaya pada siapapun, suka  menolong dan pasrah.
- Baik Hati     : Dia rela menolong ular yang bahkan bisa membahayakan nyawanya sendiri.
- Pandai          : Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer.
- Taat            : Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang.
- Terlalu mudah percaya pada siapapun : Dia terlalu percaya bahkan pada hal yang dia endiripun tahu jika itu dapat membunuhnya.
- Suka menolong : bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh?
- Pasrah : Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik .

b. Ular                        : Licik, jahat, suka berbohong, dan tidak tahu balas budi.
-  Licik                        : Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan.
- Jahat           : Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.
- Suka berbohong     : Pada awalnya dia berjanji hanya akan bersembunyi, tetapi ternyata dia juga mengancam untuk memakan hati atau jantung si kakek.
- Tidak tahu balas budi       : Setelah diberi pertolongan oleh kakek, bukannya berterima kasih, ular itu malah mau membunuh kakek.

c. Suara penolong : Baik hati, suka menolong.
- Baik hati                  : Dia ada disaat yang tepat. Saat kakek akan dibunuh oleh ular itu.
- Suka menolong        : Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.

3.       Jenis alur beserta tahapan peristiwa    : Jenis alurnya maju.
Tahapan peristiwanya dimulai dari paragraf 1 yaitu pengenalan tokoh utama.
Paragraf 2 dan 3 yaitu penyebab permasalahan.
Paragraf 4 dan 5 yaitu bagian klimaks.
Paragraf 6 yaitu bagian peleraian.
Paragraf 7 yaitu bagian penyelesaian.

4.     Setting                        :
Suatu hari, kakek itu sedang duduk di tempat kerjanya. Suasananya sangat tenang dan santai. Namun ular datang dengan gugup. Setelah ular itu berhasil selamat, ular itu mau memakan kakek tersebut. Namun, sang kakek ingin pergi ke sebatang pohon yang ada di suatu tempat yang lapang. Suasanapun menjadi tegang. Namun, menjadi tenangkembali saat ular itu sudah berhsil dikeluarkan dai tubuh kakek. Kakek itupun merasabahagia dan sangat bersyukur pada Yang Kuasa.

5.      Amanat                      :a. Jangan terlalu percaya kepada orang lain apalagi                                                                        yang mampu menjadi ‘musuh dalam selimut’ bagi kita.
 b. Kebaikan pasti akan selalu dibalas dengan kebaikan.
 c. Allah pasti akan menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang  taat    kepada-Nya.
6.     Sudut pandang                   : Orang Ketiga Pelaku Utama.

7.      Majas                          :
a. Majas Sinekdokhe pars prototo : Tiba-tiba seekor ular                                                             menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.
b. Majas Metafora                           : Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer.
c. Majas Simile                                  : cukuplah Allah Yang Maha Esa bagai penolongku.

8.      Pengalaman               :
1. Menolong orang harus dengan suatu alasan.
2. Menolong tidak boleh asal-asalan.
3. Tidak boleh terlalu percaya pada orang asing.

9.      Gagasan                     :
1. Kakek tersebut adalah orang yang baik hati dan suka menolong, namun terlalu mudah percaya pada ular.
2. Ular itu mungkin dapat berencana licik, namun orang jahat akan mendapat keburukan pula.
3. Kakek yang pasrah akhirnya dapat pertolongan dari Allah, dan iapun selamat.


C.    Unsur Ekstrinsik
1. Nilai Moral             : Kita dapat belajar bahwa menolong orang itu memang baik, namun kita juga harus memikirkan pula tentang akibat dari pertolongan kita itu.
2. Nilai Pendidikan    : Kita dapat belajar bahwa perbuatan baik juga akan mendapatkan balasan yang baik pula.
3. Nilai Religius         : Allah akan selalu melindungi hamba-Nya yang taat kepada-Nya.
4. Nilai Sosial                        : Menolong sesama yang membutuhkan adalah hal yang baik, apalagi bila memang sedang membutuhkan pertolongan.
5. Nilai Budaya          : Budaya tolong-menolong antara kiat memang harus selalu diterapkan dimanapun dan kapanpun.
6. Nilai Estetika        : Hubungan antar umat manusia yang saling tolong-menolong dan pertolongan Allah yang terkadang tak terduga.




Perbandingan “Novel ABORSI” dan “Hikayat Seorang kakek dan Seekor Ular”
Sinopsis Novel ABORSI
Ceritanya bermula ketika sepasang suami istri yaitu Handi dan Devi yang memiliki seorang putri bernama Caca,membeli rumah baru yang bergaya klasik.Hal tersebut malah membawa malapetaka,Caca jadi sering kerasukan dan mengamuk.
Kehidupan yang tak lagi dirasa tenang membuat Handi dan Devi merasa ketakutan sekaligus penasaaran.Seiring berjalannya waktu yang memperkeruh keadaan,Mereka baru lah menyadari apa yang telah mereka perbuat 10 tahun yang lalu.Janin yang dipaksa keluar ,bangkit untuk membalas dendam orang tua yang biadab yang membunuhnya.
Akhirnya,Devi yang merasa sangat bersalah ,rela mati untuk menemani "Cinta" di dunia lain.
Sinopsis Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular
Pada zaman dahulu kala,hidulah seorang kakek tua yang taat pada Allah yang berotak encer,dan kuat.ketika itu ia sedang duduk di tempat kerjanya ,tiba-tiba datanglah seekor ular ular itu meminta untuk disembunyikan dalam mulut Kakek karena ia dikejar-kejar seorang laki-laki.Ular tersebut bersumpah,tidak akan mencelakai kakek. Akhirnya kakek mengizinkannya.
Setelah orang yang mencari nya itu sudah pergi ,kakek menyuruh si ular untuk keluar. Tetapi ular melanggar janjinya,ia malah hendak memakan jantung dan hati kakek.
Kakek yang mengetahui kehendak ular berkata bahwa ia ingin mati di bawah pohon yang biasa digunakannya untuk berteduh yang letaknya jauh dari keluarganya,ular pun mengizinkannya.
Hatta sampai di tempat yang dimaksud,tiba-tiba terdengar suara yang lembut menyuruh kakek untuk makan daun dari pohon tersebut.Tanpa berfikir panjang,kakek segera melakukan apa yang diperintahkan suara tadi.Alhasil ular pun akhirnya keluar dalam keadaan menjadi bangkai.Kakek pun bersujud,bersyukur atas pertolongan yang di berikan Allah S.W.T
Perbandingan:
1. Hikayat berbentuk seperti dongeng yang menyajikan hal-hal takhayul sedangkan novel lebih mengacu pada realita.
2. Pada hikayat biasa dimulai dengan Pada zaman dahulu sedangkan pada novel tidak demikian.

3. Pada hikayat terdapat bahasa melayu kuno seperti “hatta” sedangkan pada novel tidak.

Minggu, 24 November 2013

Tugas Hikayat Kelompok 1

Anggota Kelompok `:
Enrico Reyhan
Iqbal Cahyadi
Irfan Adi
Muhamad Fikri
Muhammad Afif
Muhammad Ilham
Stefanus Chiody
Samuel
Samuel Alfaref
Wanaldi
Hikayat Cabe Rawit
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut.

Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.

“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”

“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda berusaha menahan tangis.

Malam itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.


Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut istri sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.

Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua suami-istri tersebut. Hendak pergi berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun, kegelisahan itu tiba-tiba berubah suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.

“Sudahlah istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah kau setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur sang suami. Keduanya lalu tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.

Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.

Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata pada ibunnya, “Ibu aku akan ke pasar. Aku akan bekerja menggantikan ayah.”

“Jangan anakku, nanti kalau kau terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa pada dirimu,” sahut ibunya.

“Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tak kan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”

“Anakku, kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu sekarang. Ibu tak mau kehilangan dirimu,” kata ibu lagi.

“Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.

Cabai rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.

Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga pisang pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. “Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini,” kata cabe rawit.

Spontan pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi tak dilihatnya seorang pun manusia.

“Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini.” Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat ke belakang dan ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya sesosok manusia pun. Sampai tiga kali ia mendengar suara dan kalimat yang sama, mugè pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.

Sepeninggalan mugè pisang, pulanglah cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mugè itu. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. “Darimana kau dapatkan pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.

Cabe rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. “Daripada diambil orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu,” katanya.

Keesokan harinya, si cabe rawit kembali minta izin untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata sara itu.

Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.

Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu kembali bertanya. “Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab cabe rawit.

Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di pertengahan jalan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah. “Tadi pedagang ikan itu tiba-tiba lari meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa pulang saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis dimakan kucing,” kata cabe rawit kepada ibunya saa sang ibu bertanya darimana ia mendapatkan ikan.

Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.

Orang-orang kampung pun mulai curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. “Bagaimana mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki siapa-siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala kampung.

Si janda hanya diam. Kepala kampung mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap bungkam. Karena kepala kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah, terdengarlan suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku,” kata suara tersebut.

Kepala kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu.

Beberapa kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun di sana. Sedangkan saat itu, suara yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul, pukullah aku,” kata suara itu yang tak lain dan tak bukan adalah milik cabe rawit.

Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk berkenan memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan beras, garam, pakaian, dan sebagainya.
1] Terjemahan
Hikayat Cabe Rawit
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung yang tidak diketahui, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut.

Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang berusia sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.

“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah setua ini, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk dimakan.”

“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda berusaha menahan tangis.

Malam itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.


Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut istri sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.

Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat.Kedua suami-istri tersebut sangat gelisah. Hendak pergi berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun, kegelisahan itu tiba-tiba berubah menjadi suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.

“Sudahlah istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah kau setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur sang suami. Keduanya lalu tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.

Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit
upah makanan yang akan mereka nikmati bersama.
Suatu ketika si ayah jatuh sakit, tidak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Si ibu pun kerjanya hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata pada ibunya, “Ibu aku akan ke pasar. Aku akan bekerja menggantikan ayah.”

“Jangan anakku, nanti kalau kau terinjak orang, bagaimana? Ibu tidak mau terjadi apa-apa pada dirimu,” jawab ibunya.

“Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tidak akan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”

“Anakku, kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya ibu miliki sekarang. Ibu tak mau kehilangan dirimu,” kata ibunya lagi.

“Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.

Cabai rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.

Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, lewatlah seorang pedagang pisang. Buah pisang pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. “Penjual pisang, penjual pisang, hati-hati, jangan sampai pisangmu menggencet tubuhku yang kecil ini,” kata cabe rawit.

Spontan pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi tidak ada orang.

“Penjual pisang, penjual pisang, hati-hati, jangan sampai pisangmu menggencet tubuhku yang kecil ini.” Terdengar lagi suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat ke belakang dan ke samping. Tapi, tetap tidak ada orang. Sampai tiga kali ia mendengar suara dan kalimat yang sama, penjual pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.

Setelah peenjual pisang pergi, cabe rawit pulang membawa pisang yang sudah ditinggalkan penjjual tadi. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. “Darimana kau dapatkan pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.

Cabe rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. “Daripada diambil orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu,” katanya.

Keesokan harinya, si cabe rawit kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menlindas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata suara itu.

Pedagang beraspun berhenti karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak ada orang. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang sangat mungil.

Setelah pedagang beras pergi, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu kembali bertanya. “Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambil sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab cabe rawit.


Keesokan harinya, hal yang sama kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak pergi  ke pasar, di tengah-tengah perjalanan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sambil membawa beberapa ikan sebisanya. “Tadi pedagang ikan itu tiba-tiba lari meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa pulang saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis dimakan kucing,” kata cabe rawit kepada ibunya saat ibunya bertanya darimana ia mendapatkan ikan.

Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Di perempatan atau pertengahan jalan, dia selalu berpapasan dengan para pedagang. Akhirnya, keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas juga pernah melakukan hal itu. Orang-orang sekampung heran melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.

Orang-orang kampung mulai curiga. Rumah janda miskin tersebut didatangi. “Bagaimana mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki siapa-siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala desa.

Si janda hanya diam. Kepala desa mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap diam. Karena kepala desa dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah, terdengarlan suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku,” kata suara tersebut.

Kepala kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu.

Beberapa kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk melihat ke belakang pintu. Namun, tak terlihat seorang pun. Sedangkan saat itu, suara yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul, pukullah aku,” suara itu adalah suara cabe rawit.

Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia ucapkankan dengan suaminya tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah yang lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Keluarga cabe rawit pun hidup makmur. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk memberikan kebutuhan untuk keluarga cabe rawit setiap hari. Ada yang memberikan beras, garam, pakaian, dan sebagainya.

2] Kata-kata yang sering muncul
·        Antah berantah                 = Disuatu tempat  yang tidak diketahui
·        Demikianlah                       = Begitulah; Karena
·        Lampu payot                     = Lampu minyak
·        Sahdan                                = Namun
·        Terpijak                               = Terinjak
·        Raga pisang                       = Badan (bagian dari) pisang
·        Sepeninggalan                   = Setelah ditinggal
·        Hatta                                   = Akhirnya
·        Kepala kampung               = Kepala desa
3] Unsur Intrinsik
Tema                    : Bakti seorang anak
Alur                       : Maju    :
>Suami-istri berdoa kepada tuhan untuk memiliki anak walaupun sebesar cabai rawit
>Istri mengandung anak
>Anak lahir sebesar cabai rawit
>Suami meninggal sehingga ibu cabai menjadi janda
>Cabai pergi kepasar, namun diperjalanan selalu mendapat barang dagangan orang lain
>Ibu dan Cabai menjadi kaya
Tokoh                   : Suami, Istri, dan Cabe Rawit
Watak                  : Suami                 : Tidak mempertimbangkan kalimat yang akan diucapkan, namun bertanggung jawab atas apa yang telah diucapkan.
Istri                       :Taat beribadah
Cabe Rawit         : Berbakti kepada orang tua
Latar                     : Tempat              :Disuatu kampung entah dimana
                                Waktu                : Pada zaman dahulu kala
                                Suasana             : Haru atau sedih
Amanat                : Kita harus bertaanggung jawab atas apa yang telah kita ucapkan.
  Kita harus berbakti kepada orang tua kita.
  Kita harus mengatakan kebenaran dan tidak takut salah jika kita benar.
4] Kesamaan dengan kehidupan
Yang sama dalam kehidupan sehari-hari  
Ø  Cerita tersebut sama dengan kehidupan sehari-hari yaitu suami istri yang ingin memiliki anak . Suami istri tersebut terus berdoa kepada tuhan agar dianugrahkan seorang anak. Dan akhirnya tuhan menjawab doa kedua orang itu.
Ø  Cerita tersebut sama dalam kehidupan seorang anak yang ayahnya sudah meninggal lalu ingin membantu ibunya yang sudah tua dan bekerja di pasar untuk mencari nafkah.
Ø  Cerita ini juga sama dengan seorang anak yang sangat berbakti dan patuh kepada kedua orang tuanya.


 

Sample text

Sample Text

Sample Text